BAB
I
PENELITIAN
DAN PENGKAJIAN TASAWUF
Penelitian dan pengkajian dalam bidang ilmu tasawuf merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari penelitian dan
pengembangan dalam ilmu pengetahuan agama Islam. Penelitian agama memang
berbeda dengan penelitian ilmu-ilmu
sosial, namun berhubungan
erat dan tidak bisa dipisahkan dari
metode-metode penelitian sosial pada umumnya. Perbedaan antara penelitian agama
dengan penelitian ilmu-ilmu sosial terletak pada medan, tujuan dan pendekatan
(sudut penilaian).
Adapun penelitian agama medannya
mencakup tiga lapangan yakni :
1. Memahami dan mengkaji
kitab-kitab yang merupakan sumber baku dari suatu agama dan merupakan sumber
statikanya.
2. Mengkaji hasil-hasil
ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam pengembangan suatu
agama
3. Perilaku dan
pola-pola kehidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada di
tengah-tengah masyarakat uman manusia, yang biasa disebut oleh para ahli imu
sosial dengan fenomena keagamaan
Tujuan penelitian agama adalah
untuk mengembangkan pemahaman dan membudayakan pengamalan agama sesuai dengan
tingkat perkembangan peradaban umat manusia.
Penelitian atau studi dalam
bidang ilmu tasawuf objekya bisa berwujud ajaran-ajaran ulama-ulama sufi masa
lampau yang telah terbukukan dalam kitab-kitab kuning ataupun yang masih dalam
bentuk tulisan tangan. Adapun medan yang masih terbentang luas dan belum banyak
dijamah oleh para peneliti orientalis adalah fenomena kehidupan para
kelompok-kelompok sufi yang nyata-nyata ada berserakan di serata alam islami.
Adapun bentuk penelitian yang
mudah dijalankan adalah studi kasus, yakni meneliti dan mengkaji suatu kasus
ditinjau dari segala aspeknya untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman secara
bulat. Ciri dari studi kasus hanya bisa dilakukan oleh seorang peneliti yang
punya bekal memadai tentang ilmu tasawuf beserta kedudukannya dalam
perkembangan pemikiran dan budaya keislaman, karena seorang peneliti harus peka
dalam menilai data-data yang bermakna, dan kemudian menganalisisnya untuk
mengadakan eksplanasi dari sejumlah data yang dikumpulkannya.
Metode dan Pendekatan
Dalam penelitian tasawuf dan
agama pada umunya cukup dengan menggunakan metode penelitian ilmu-ilmu sosial
terutama analisis kesejarahan dan fenomenologi (verstehen). Verstehen
artinya agar sang objek itu sendiri yang bicara megenai dirinya sendiri. Tugas
peneliti semata-mata hanya merekam apa yang dirasa, dipikirkan, dipahami dan
diungkapkan oleh sang objek, kemudian hasil rekaman itu kemudian dimengerti dan
dianalisis oleh peneliti untuk menyusun teori. Jadi pendekatan fenomenologi
atau verstehen si peneliti harus mencoba ikut terlibat dengan rasa semampu
mungkin tanpa menggunakan teori terlebih dahulu. Hal ini memang agak sulit
diterapkan dalam bidang tasawuf, sebab peneliti memang bukan orang sufi, tentu
tidak bisa merasakan dan meyakini bahwa penghayatan kejiwaan para sufi di dalam
fana’ sebagai kebenaran mutlak.
Adapun dari segi pendekatan
untuk memahami fenomena keagamaan atau tasawuf. Fenomena keagamaan hanya bisa
dimengerti secara utuh dan pas apabila diselamai dari sudut agamis dan bukan dari
sudut ilmu sosial. Agama mempunyai kepentingan yang berbeda dengan kepentingan
ilmu sosial. Penelitian agama adalah alat untuk mendukung pengembangan ajaran
agama dan pengembangan pemikiran umatnya sesuai dengan tuntutan kemajuan
peradaban umat manusia. Pendekatan dari sudut agama disamping menjawab masalah
ilmiah, yakni apa atau bagaimana dan mengapa terjadi demikian, harus
dilanjutkan pada persoalan ketiga yaitu masalah seberapa jauh hal itu bisa
menunjang atau menghambat ketegaran perkembangan budaya agama dan alam pikiran umat
islam.
Menurut Mattulada metode yang
digunakan amat tergantung pada objek studi. Tiap-tiap objek studi menentukan
metode apa yang tepat untuk memahami objek studi itu.
Persyaratan Peneliti Tasawuf
Penelitian tasawuf umumya
mempergunakan studi kasus dan mempergunakan pendekatan fenomenologis atau
verstehen. Maka syarat mutlak bagi para peneliti harus menguasai
persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Syarat utama pertama ia harus
menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme. Yang kedua ia harus mempunyai
pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu dan bagaimana kaitannya
dengan ajaran islam.
Tasawuf sebagai suatu ilmu
yang telah berkembang sejak pertengahan abad kedua hijriyah hingga dewasa ini
tentu mengembangkan terminologi atau bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti
dalam kaitannya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya “syari’at”
bagi sufi pengertiannya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”. Menurut
kacamata sufi syari’at hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiriah menurut
aturan-aturan formal daripada agama. Jaki laku batin seperti kekhusukan jiwa
dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak
dimasukkan dalam istilh syari’at. Oleh karena itu, Imam Al-Qusyairi mengatakan
:
فكل
شريعة غير مؤيدة بالحقيقة فغير مقبول
وكل
حقيقة غير مقيدة بالشريعة فغير محصول
“Maka setiap syari’at yang tidak didukung oleh hakikat tidak
akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan syari’at tentu tidak
ada hasilnya”.
Mengenai apa hakikat tasawuf
bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan pengertian yang cerah, lantaran
adanya stereotyped ideas yang telah lama direntang oleh para pendukung
tasawuf.
Menurut Harun Nasution dalam
bukunya Filsafat dan Mistisisme dalam Islam intisari dari mistisisme,
termasuk didalamnya sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog
(langsung) antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk
ittihad, bersatu dengan Tuhan..
Sedangkan menurut A.S. Hornby
dan kawan-kawan dalam kamus A Learner’s Dictionary of Current English
adalah :
The teaching of belief that
knowledge of real truth and of God may be obtained through meditation or
spiritual insight, independently of the mind and senses.
Ajaran atau kepercayaan bahwa
pengetahuan tentang hakikat atau Tuhan bisa didapatkan melalui meditasi atau
tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indera.
Jadi, penghayatan mistik itu
semata-mata tanggapan kejiwaan ditengah meditasi yang dalam tasawuf dilakukan
dengan sarana dzikir.
Adapun kata kunci yang
berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari ajarannya adalah fana’ dan
kasyf. Keduanya adalah inti ajaran yang menjiwai seluruh pikiran dan
perbuatan ketasawufan, tanpa keduanya tidak akan ada tasawuf. Dorongan yang
menumbuhkan cita ajaran tasawuf adalah cinta rindu (hubbullah), rindu
untuk bisa menghayati dan mengalami tatap muka secara intim (al-uns)
dengan Tuhan. Makrifatullah yang berarti tatap muka langsung dengan
wajah Tuhan ini hanya bisa dicapai mealui pengalaman fana’ dan kasyf.
Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana dan kasyf
ini, yang tidak lain merupakan pengalaman kejiwaan seperti halnya mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar