Hidup Itu Indah Jika Mengerti Akan Sesama

oeroeng 2011

Sang Motivator...!!!


Minggu, 22 Mei 2011

Sunan Kalijaga

 


Hutan Jatiwangi, pada suatu masa. Di rindang lebat pepohonan jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu dua lelaki berbeda umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian serba hitam. Di depannya seorang pria lebih tua, dibalut busana serba putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya.
Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang gemar membegal pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika tongkat itu direbut, orang tua tadi sama sekali tak berlawan.
Ia tersungkur di tanah, kehilangan keseimbangan. Tongkat berkepala emas itu berpindah tangan. Bangkit dari jatuhnya, orang tua itu memberi nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat inilah yang mengubah jalan hidup Lokajaya. Ia menjadi murid orang tua itu –yang tiada lain daripada Sunan Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Begitulah legenda Sunan Kalijaga mengalir, dalam berbagai versi. Jalan hidup sunan yang satu ini tercantum dalam berbagai naskah kuno, babad, serat, hikayat, atau hanya cerita tutur turun-temurun. Mudah dipahami kalau muatannya berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan Kalijaga.
Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga adalah putra Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama aslinya Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut babad dan serat, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh Malaya, Raden Abdurrahman, dan Pangeran Tuban. Gelar ”Kalijaga” sendiri punya banyak tafsir.
Ada yang menyatakan, asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai). Versi ini didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai. Ada juga yang menulis, kata itu berasal dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah.
Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia diperkirakan lahir pada 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20-an tahun. Sunan Ampel, yang diyakini lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga, berusia 50-an tahun.
Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram.
Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup selama sekitar 150-an tahun! Tapi, lepas dari berbagai versi itu, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah padam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain.
Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan –paduan melodi Arab dan Jawa.
Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir, meski ada yang menyebutnya karya Sunan Bonang. Lariknya punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar. Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai agama baru, diamsalkan penganten anyar, alias pengantin baru.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekaten.
Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah wayang kulit.
Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Cerita dari mulut ke mulut menyebut, Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki Dalang Sida Brangti.
Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga bersalin nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah carangan.
Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasan kenduri pun jadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-Quran. Di awal syiarnya, Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Prof. Husein Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah dibaiat sebagai murid Sunan Bonang.
Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di ”bumi Sriwijaya” itu tidak meninggalkan catatan tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon, Sunan Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang. Konon, Kalijaga ingin menyusul Sunan Bonang, yang pergi ke Mekkah.
Tapi, oleh Syekh Maulana Magribi, Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa. Babad Cerbon menulis, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih masjid Keraton Kasepuhan.
Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati. Kisah pertemuannya rada-rada aneh. Sunan Gunung Jati sengaja menguji Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di padasan, tempat orang mengambil wudu. Kalijaga sendiri tak kaget mengingat ajaran Sunan Ampel, ”ojo gumunan lan kagetan” (jangan mudah heran dan terkejut).
Ia ”menyulap” emas menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh bakiak bagi orang yang berwudu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub. Ia pun ”menganugerahkan” adiknya, Siti Zaenah, untuk diperistri Sunan Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon.
Dakwahnya berlanjut ke arah timur, lewat pesisir utara sampai ke Kadilangu, Demak. Di sinilah diyakini Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah, putri Maulana Ishak.
Pernikahan dengan Dewi Sarah itu membuahkan tiga anak, satu di antaranya Raden Umar Said, yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga itu amat keras ditentang Sunan Ampel, mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak iparnya.
Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan sebutan kelompok ”Islam abangan”. Julukan ini hingga kini melekat pada masyarakat di sepanjang pesisir utara, dari Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon. Selain dakwah dengan kontak budaya, kisah spektakuler lainnya adalah pendirian Masjid Agung Demak.
Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477, berdasarkan candrasengkala ”Lawang Trus Gunaning Janma” –bermakna angka 1399 tahun Saka. Kisah pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Masih belum jelas, benarkah?

RESUME (Tasawuf & Perkembangannya Dalam Islam)



BAB I
PENELITIAN DAN PENGKAJIAN TASAWUF

Penelitian dan pengkajian dalam bidang ilmu tasawuf merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penelitian dan pengembangan dalam ilmu pengetahuan agama Islam. Penelitian agama memang berbeda dengan penelitian ilmu-ilmu sosial, namun berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan dari metode-metode penelitian sosial pada umumnya. Perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian ilmu-ilmu sosial terletak pada medan, tujuan dan pendekatan (sudut penilaian).
Adapun penelitian agama medannya mencakup tiga lapangan yakni :
1.    Memahami dan mengkaji kitab-kitab yang merupakan sumber baku dari suatu agama dan merupakan sumber statikanya.
2.    Mengkaji hasil-hasil ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam pengembangan suatu agama
3.    Perilaku dan pola-pola kehidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat uman manusia, yang biasa disebut oleh para ahli imu sosial dengan fenomena keagamaan
Tujuan penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemahaman dan membudayakan pengamalan agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban umat manusia.
Penelitian atau studi dalam bidang ilmu tasawuf objekya bisa berwujud ajaran-ajaran ulama-ulama sufi masa lampau yang telah terbukukan dalam kitab-kitab kuning ataupun yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Adapun medan yang masih terbentang luas dan belum banyak dijamah oleh para peneliti orientalis adalah fenomena kehidupan para kelompok-kelompok sufi yang nyata-nyata ada berserakan di serata alam islami.
Adapun bentuk penelitian yang mudah dijalankan adalah studi kasus, yakni meneliti dan mengkaji suatu kasus ditinjau dari segala aspeknya untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman secara bulat. Ciri dari studi kasus hanya bisa dilakukan oleh seorang peneliti yang punya bekal memadai tentang ilmu tasawuf beserta kedudukannya dalam perkembangan pemikiran dan budaya keislaman, karena seorang peneliti harus peka dalam menilai data-data yang bermakna, dan kemudian menganalisisnya untuk mengadakan eksplanasi dari sejumlah data yang dikumpulkannya.
Metode dan Pendekatan
Dalam penelitian tasawuf dan agama pada umunya cukup dengan menggunakan metode penelitian ilmu-ilmu sosial terutama analisis kesejarahan dan fenomenologi (verstehen). Verstehen artinya agar sang objek itu sendiri yang bicara megenai dirinya sendiri. Tugas peneliti semata-mata hanya merekam apa yang dirasa, dipikirkan, dipahami dan diungkapkan oleh sang objek, kemudian hasil rekaman itu kemudian dimengerti dan dianalisis oleh peneliti untuk menyusun teori. Jadi pendekatan fenomenologi atau verstehen si peneliti harus mencoba ikut terlibat dengan rasa semampu mungkin tanpa menggunakan teori terlebih dahulu. Hal ini memang agak sulit diterapkan dalam bidang tasawuf, sebab peneliti memang bukan orang sufi, tentu tidak bisa merasakan dan meyakini bahwa penghayatan kejiwaan para sufi di dalam fana’ sebagai kebenaran mutlak.
Adapun dari segi pendekatan untuk memahami fenomena keagamaan atau tasawuf. Fenomena keagamaan hanya bisa dimengerti secara utuh dan pas apabila diselamai dari sudut agamis dan bukan dari sudut ilmu sosial. Agama mempunyai kepentingan yang berbeda dengan kepentingan ilmu sosial. Penelitian agama adalah alat untuk mendukung pengembangan ajaran agama dan pengembangan pemikiran umatnya sesuai dengan tuntutan kemajuan peradaban umat manusia. Pendekatan dari sudut agama disamping menjawab masalah ilmiah, yakni apa atau bagaimana dan mengapa terjadi demikian, harus dilanjutkan pada persoalan ketiga yaitu masalah seberapa jauh hal itu bisa menunjang atau menghambat ketegaran perkembangan budaya agama dan alam pikiran umat islam.
Menurut Mattulada metode yang digunakan amat tergantung pada objek studi. Tiap-tiap objek studi menentukan metode apa yang tepat untuk memahami objek studi itu.


Persyaratan Peneliti Tasawuf
Penelitian tasawuf umumya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan pendekatan fenomenologis atau verstehen. Maka syarat mutlak bagi para peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Syarat utama pertama ia harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme. Yang kedua ia harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu dan bagaimana kaitannya dengan ajaran islam.
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah berkembang sejak pertengahan abad kedua hijriyah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminologi atau bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya “syari’at” bagi sufi pengertiannya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”. Menurut kacamata sufi syari’at hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiriah menurut aturan-aturan formal daripada agama. Jaki laku batin seperti kekhusukan jiwa dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukkan dalam istilh syari’at. Oleh karena itu, Imam Al-Qusyairi mengatakan :
فكل شريعة غير مؤيدة بالحقيقة فغير مقبول
وكل حقيقة غير  مقيدة بالشريعة  فغير محصول
“Maka setiap syari’at yang tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan syari’at tentu tidak ada hasilnya”.
Mengenai apa hakikat tasawuf bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan pengertian yang cerah, lantaran adanya stereotyped ideas yang telah lama direntang oleh para pendukung tasawuf.
Menurut Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisisme dalam Islam intisari dari mistisisme, termasuk didalamnya sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog (langsung) antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad, bersatu dengan Tuhan..
Sedangkan menurut A.S. Hornby dan kawan-kawan dalam kamus A Learner’s Dictionary of Current English adalah :
The teaching of belief that knowledge of real truth and of God may be obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mind and senses.
Ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat atau Tuhan bisa didapatkan melalui meditasi atau tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indera.

Jadi, penghayatan mistik itu semata-mata tanggapan kejiwaan ditengah meditasi yang dalam tasawuf dilakukan dengan sarana dzikir.
Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari ajarannya adalah fana’ dan kasyf. Keduanya adalah inti ajaran yang menjiwai seluruh pikiran dan perbuatan ketasawufan, tanpa keduanya tidak akan ada tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran tasawuf adalah cinta rindu (hubbullah), rindu untuk bisa menghayati dan mengalami tatap muka secara intim (al-uns) dengan Tuhan. Makrifatullah yang berarti tatap muka langsung dengan wajah Tuhan ini hanya bisa dicapai mealui pengalaman fana’ dan kasyf. Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana dan kasyf ini, yang tidak lain merupakan pengalaman kejiwaan seperti halnya mimpi.